Hello gals! Kali ini
gue mau nge-post cerpen yang berjudul "6 Tapi Ganjil". Sebenernya
ini cerita pribadi. Tapi endingnya masih fiksi. Ya semoga aja beneran terkabul.
Okey gausah lama lama lagi. Happy reading everyone! xx
6 Tapi Ganjil
“Kita udah lama sama –
sama. Sudah hampir satu tahun! Masa sih hanya karena masalah seperti ini kita
bubar?” itulah kata – kata yang sering terdengar belakangan ini. Berbagai
masalah telah kami lewati. Berbagai macam penyelesaian pun telah kami lakukan.
Tapi………aku tak mengerti kenapa. Kenapa kami tidak bisa seperti semula. Seperti
dulu lagi. Masalah – masalah itu telah membekas dihati kami masing – masing.
Tidak ada satupun dari kami yang mendapatkan kembali keutuhan hatinya. Terutama
aku. Semua masalah itu terus saja membuatku menitikkan air mata. Aku lelah,
sangat lelah dengan semua ini. Tetapi aku tidak ingin menyerah dan melepaskan
semuanya. Aku merindukan GOLD yang dulu. GOLD yang tidak ada rasa benci dan
jauh dari pertengkaran. Entah mengapa walaupun kami semakin dewasa, kami malah
menjadi semakin egois. Kami mulai rapuh. Kami sangat rentan terhadap
perpisahan.
GOLD
adalah sebuah group dance yang beranggotakan Timeh, Silmy,
Lila, Mutia, Lesya, Paras. Kami semua bersahabat. Tapi persahabatan kami
memburuk semenjak kami kelas VIII. Tapi sudahlah. Setidaknya 3 hari lagi, tepatnya
tanggal 26 Maret, kami akan merayakan hari jadi kami yang ke-1 tahun. Aku harap
setelah ini kami akan lebih dewasa dan lebih mengerti satu sama lain. Tidak ada
lagi masalah dan kembali seperti semula lagi. Semoga saja doaku di dengat oleh
Allah SWT……
***
Hari
ini hari yang kami tunggu – tunggu. HARI INI ANNIVERSARY GOLD KE-1 TAHUN!!!
Akhirnya, setelah semua masalah yang kami hadapi, kami berhasil mencapai angka
1. Sekarang masih jam 7. Kami janjian kumpul jam 10. Masih 3 jam lagi. Aku mengecek handphone-ku,
siapa tahu ada informasi penting mendadak. Dan ketika aku lihat, ternyata ada 1
SMS masuk.
“Lesya,
Silmy nggak bisa ikut. Dia nggak dibolehin pergi sama papanya.”
Semangatku langsung hilang seketika. Aku sangat berharap hari
ini akan menjadi hari yang sangat menyenangkan bagi kami semua. Kami semua.
Tapi malah ada yang tidak bisa datang. Aku kecewa sekali. Harapanku pupus.
Kejadian ini seakan – akan memberikan pesan kepada kami. Pesan bahwa kami akan
terpisah. Akan hancur. Tidak! Tidak boleh! Membayangkannya saja aku tidak
sanggup. Handphone-ku berbunyi lagi. SMS masuk dari Lila.
“Ley
jadinya gimana? Jadi pergi atau nggak?”
“Aku
nggak tahu, Lil. Menurut kamu gimana?”
“Aku
juga nggak tahu , Ley. Aku jadi kurang semangat.”
?
“Aku
juga, Lil. Kalau menurut yang lain gimana?”
“Kalau
menurut Mutia, jadi pergi aja. Tapi nggak usah jadi photo studio.”
“Yaudah
gitu aja. Jam 10 kan? Aku siap – siap dulu ya.”
“Iya,
Les. Oke sip aku juga.”
***
“Nggak
nyangka ya kita udah satu tahun.” Kata Paras. “Iya. Dengan perjuangan dan
deraian air mata hehehe.” Sambung Lila. “Hahaha iya. Alhamdulillah ya kita
masih tetap berenam. Semoga seperti ini terus.” Tambahku. “Jangan seperti ini
terus. Tapi lebih baik lagi.” Ralat Timeh. Ya, GOLD memang berenam. Selain
bersahabat kami juga merupakan sebuah group dancer. “Eh,
sambil nunggu Kak Wildan kita photo box dulu yuk.” Ajak Paras. Kak Wildan
adalah manager kami. Bukan manager betulan sih, cumin untuk sekedar seru –
seruan saja. Dia satu tingkat lebih tau dari kami. Dia juga bersekolah di SMPN
179 dan dia juga akan lulus tahun ini. “Ayo ayo.” Sahut kami.
***
Ternyata
harapanku lagi – lagi tidak terkabul. Kami kembali punya masalah. Memang sudah
kami bicarakan. Tapi kurasa masalah itu belum benar – benar selesai. “Aku minta
maaf sama kalian. Terserah kalian mau memaafkan aku atau tidak.” Itulah kata –
kata yang keluar dari mulutnya, saat dia membuat kesalahan. Dia Mutia. Aku
benci mendengar kata “Terserah kalian mau memaafkan aku atau tidak.”
Karena permintaan maafnya jadi terdengar seperti terpaksa dan tidak ikhlas.
Namun kami ingat Timeh pernah berkata pada kami, “Sebenarnya dalam persahabatan
yang diperlukan adalah ‘maklum’.” Jadi kami memaafkannya. Memberinya kesempatan
lagi. Dan kami harap dia tak kan mengecewakan kami untuk yang kesekian kalinya…
***
“Lesya kamu masuk kelas IX-8.” Kata
Zico saat aku baru sampai di sekolah. Hari ini memang hari pembagian kelas. Ya,
kami sudah akan memasuki kelas 9 sekarang. Tadinya kami berharap agar dikelas
IX ini, kami akan sekelas lagi seperti waktu kelas VII. Namun ternyata harapan
kami tidak terkabul. Aku sedih sekali waktu itu. Yang ada dipikiranku hanyalah
bagaimana kelanjutan persahabatan kami nanti. Apakah akan tetap bertahan
atau………..hancur? Memikirkannya saja sudah sangat mengerikan. Aku tak tahu
bagaimana jika itu benar – benar terjadi. Walaupun kami sudah sangat rentan
terhadap kehancuran sekarang, tapi aku sama sekali tidak ingin kamu hancur. Aku
tak sanggup dan aku tidak ingin hal itu terjadi. Tak ingin. Benar – benar tidak
mau.
“Lesya,
aku, kamu, dan Timeh masuk kelas IX-8.” Kata Paras. “Iya, Ley. Kalau aku, Lila,
dan Mutia masuk kelas IX-4.” sambung Silmy. Ya Tuhan, apakah semua akan baik –
baik saja? Kali ini lebih parah daripada saat kelas 8. Kali ini kami terpecah
menjadi tiga – tiga. “Ya ampun kita nggak sekelas lagi.” Ucapku sedih. Aku
benar – benar khawatir. Namun aku menyembunyikannya. Aku tidak ingin yang
lainnya tahu. Mungkin yang lainnya juga merasakan hal yang sama. Tapi aku tidak
mau membicarakannya sekarang. Aku hanya tidak mau memperkeruh suasana. Karena
sekarang saja kami sudah sangat kelam.
Kami
semua terdiam. Terhanyut dalam pikiran masing – masing. Mungkin mereka juga
memikirkan hal yang sama. Tapi tidak ada satu pun diantara kami yang berani
untuk mengatakan hal itu. “Nanti aku duduk sama kamu ya, Meh.” Kataku memecah
keheningan. Aku tidak ingin lebih lama lagi memikirkan hal buruk yang akan
terjadi nanti sekarang. lebih baik nanti saja, saat aku sendirian. Sekarang aku
ingin menikmati saat – saat bersama sahabat – sahabatku. Aku sudah menganggap
mereka seperti saudara. Aku tidak ingin kehilangan mereka. Satupun dari mereka.
“Hahaha iya. Nanti jadi
seperti waktu kelas 7 lagi.” Jawab Timeh. “Hmm… aku sama siapa ya? Sama Elga
atau Dhiya aja deh.” Kata Paras. Dia bertanya dan menjawabnya sendiri. Dia
memang seperti itu. Dia yang paling cerewet diantara kami. Mungkin karena dia
yang paling kecil di sini. Tapi dialah yang selalu berhasih menghiburku saat
aku sedang sedih. “Kamu sama aku yuk, Lil.” Ajak Mutia. Aku tahu dia tidak
mungkin mengajak Silmy untuk duduk sebangku dengannya. Karena mereka memang
sedang punya masalah. Sudah pernah bermaafan memang. Tapi hubungan diantara mereka
tidak pernah kembali seperti semula lagi. “Aku sama Sania aja deh.” Sambung
Silmy.
Setelah
selesai merundingkan dengan siapa dan dimana kami akan duduk. Kami pulang ke
rumah masing – masing. Namun aku masih saja memikirkan bagaimana kelanjutan
kisah kami. Aku takut kami akan hancur. Aku tidak mau itu terjadi. Dan apakah
akan ada masalah setelah ini? Apakah kami dapat menyelesaikannya dengan baik?
Apakah kami bisa kembali seperti dulu lagi? Bersama tanpa adanya rasa benci?
Aku tidak tahu. Tidak ada yang bisa menjawabnya. Satu – satunya yang bisa
menjawab hanyalah waktu. Dan kuharap semua yang akan terjadi adalah yang
terbaik untuk kami.
***
Aku
sedang menyiapkan peralatan yang kira – kira akan kubutuhkan besok. Ya, besok
adalah hari pertama aku duduk di kelas IX. Senang rasanya dan aku juga
bersemangat untuk memulai kelas IX ini. Untuk sejenak kulupakan masalah –
masalah yang sedang mengancam di GOLD. Tiba – tiba handphone-ku berbunyi, tanda
SMS masuk. Ternyata dari Paras.
“Ley,
besok datang pagi – pagi ya. Nanti keburu dapat tempat duduk sisaan loh
hehehe.”
“Iya,
Ras. Tapi kalau aku nggak sempat datang pagi – pagi, kamu tempatin tempat duduk
buat aku dan Timeh dulu ya? Hehehe.”
“Ah
nggak mau. Pokoknya kamu harus datang pagi – pagi juga. Paling telat jam 5!”
“Jam
5? Pagi amat-_-. Mau ngapain dulu?”
“Hehehehe
nggak kok bercanda. Pokoknya datang pagi – pagi deh.”
“Iya
cerewet. Kamu jadinya duduk sama siapa Ras?”
“Sama
Elga. Aku udah janjian sama dia. Sudah dulu ya, aku mau tidur. Dadah!”
“Dah!”
Setelah
membalas SMS Paras yang terakhir, aku bergegas untuk pergi tidur. Aku harus
datang pagi – pagi sekali besok. Sebelum tidur aku berdoa agar tahun ajaran
kali ini lebih baik dari tahun – tahun sebelumnya dan semoga aku lulus dengan
nilai yang membanggakan. Dan untuk GOLD, semoga kami diberikan jalan yang
terbaik untuk semuanya.
***
Hari
itu tiba. Aku sudah resmi menjadi siswa kelas IX SMP sekarang. Dan setelah
melewati kelas IX ini, aku akan ganti seragam menjadi putih abu – abu. Tidak
terasa, waktu cepat sekali berputar. Saat aku baru ingin melangkah ke arah
gerbang, terlihat Paras di seberang jalan. Dia langsung buru – buru menyebrang.
Tanpa aba – aba aku langsung lari menuju kelas IX-8. Paras juga lari. Kami
balapan menuju kelas IX-8. Dan akhirnya aku yang menang. Aku yang lebih dulu
sampai di kelas IX-8. “Yeay! Aku yang menang! Kamu kalah!” ejekku sambil
menjulurkan lidah kepada Paras. “Ya baru sekali doang. Aku sengaja ngalah. Kan
kamu biasanya kalah. Kasihan.” Elak Paras. Aku tidak menyahutinya. Tidak akan
ada habisnya jika kusahuti. Paras memang seperti itu, tidak mau kalah. Tapi
terkadang dia merupakan sosok yang pengertian dan pengalah. Baru ada
1 orang di kelas. Aku langsung memilih tempat duduk paling depan dan Paras
disebelahnya. Kami sengaja memilih tempat duduk paling depan karena kami
bertekad untuk lebih serius belajar di kelas IX ini.
Setelah
upacara, kami semua masuk ke kelas masing – masing. Sebagian anak di kelas IX-8
ini sudah kekenal sebelumnya. Tapi ada beberapa juga yang belum ku kenal,
bahkan mengetahui namanya saja tidak. Aku berdoa agar aku dapat berhubungan
dengan baik dengan mereka semua. Kami semua diabsen. Aneh rasanya. Baru kali
ini setelah namaku disebutkan, tidak ada nama Lila. Padahal biasanya kami
selalu atas-bawahan dalam absensi kelas. Aku harap suatu hari nanti aku
diberikan kesempatan lagi. Tiba – tiba aku merindukannya. Padahal ini baru
permulaan. Aku tidak boleh seperti ini. Aku harus menjadikan jarak ini sebagai
alat pengerat persahabatan kami, bukan sebagai alat penghancur kami. Kuharap
semuanya juga seperti itu. Kuharap……….
***
Hari
demi hari berganti. Dan timbul kejanggalan pada Silmy. Dia mulai menjauh dari
kami. Aku tidak tahu mengapa. Dia tidak menceritakan apa – apa padaku. Padahal
setahuku kami tidak ada masalah apa – apa. Aku benci keadaan seperti ini.
Keadaan dimana aku harus berpura – pura seperti tidak kenal kepada salah satu
dari kami. Aku ingin kami selalu bersama seperti dulu. Mengapa hal itu sulit
sekali didapatkan belakangan ini? Aku ingin sekali memeluknya dan bertanya
mengapa dia menjauhi kami. Namun aku tidak punya keberanian yang cukup untuk
melakukan itu. Aku takut dia tidak meresponku dengan baik. Akhirnya aku memilih
bertanya kepada Mutia dan Lila. Siapa tahu saja meraka tahu. Mereka kan sekelas
dengan Silmy.
“Lila,
Mutia, kalian tahu nggak Silmy kenapa?” tanyaku. “Kami juga nggak tahu, Ley.
Dia juga nyuekin kami. Iya kan, Lil?” jawab Mutia. “Iya. Udah kayak orang baru
kenal deh. Dia kenapa lagi sih? Aku capek seperti ini terus.” tambah Lila. “Aku
juga nggak tahu, Lil. Aku pikir kalian tahu.” Kataku lagi. “Gimana mau tahu?
Dia aja nggak cerita apa – apa ke kita. Liat aja, dia lagi sibuk sama sahabat
barunya.” Jawab Mutia dengan nada kesal serta penekanan pada kata ‘sahabat
baru’. Aku terdiam. Aku tidak ingin memperkeruh suasana dan aku juga kecewa
melihat sikap Silmy. Sungguh, aku tidak tahu harus berbuat apa. Dan jika ada
seseorang yang bisa memperbaiki keadaan kami sekarang, aku akan memohon – mohon
kepadnya untuk membantu kami. Tiba – tiba Paras dan Timeh datang memecah
keheningan. “Hai semua! Eh kok pada murung gitu? Ada apa lagi?” Tanya Paras.
“Kamu tanya aja sama sahabat kamu.” Jawab Mutia ketus. “Kenapa lagi sih?” Tanya
Timeh. “Nggak tahu tuh, Meh. Silmy kayaknya mulai ngejauhin kita deh. Kamu
ngerasa gak?” kata Lila. “Iya aku ngerasa kok. Kenapa sih kita dapat masalah
terus akhir – akhir ini?” Tanya Timeh lebih kepada dirinya sendiri.
Bel
tanda waktu istirahat telah habis, berbunyi. Aku, Paras, dan Timeh balik ke
kelas kami. Aku terus memikirkan sikap Silmy. Kenapa sih dia harus seperti ini?
Kenapa dia memulai masalah lagi? Tidak tahukah dia aku lelah dengan masalah –
masalah ini? Aku kesal. Aku bosan seperti ini terus. Aku capek dengan semua
masalah ini. Aku benci dengan situasi ini. Tapi sungguh, aku sama sekali tidak
ingin menyerah dan membiarkan semuanya pergi.
***
Aku
sedang belajar. Tiba – tiba handphone-ku berbunyi tanda Whatsapp masuk.
Dari Mutia.
“Ley,
Silmy nge-retweet tweetnya @MarinaS yang “Siapapun,
dimanapun, dan kapanpun yang tadinya sahabat bisa berubah menjadi bejat.”
Apakah benar Silmy melakukan itu? Tapi ini tidak mungkin
salah karena Mutia juga mengirimkan fotonya. Mengapa dia melakukan itu? Kalau
dia benci kami, kenapa harus dipublikasisan? Setidaknya dulu kami pernah
bersama – sama, apa pantas jika dia seperti ini sekarang?
“Ya
ampun itu beneran? Kenapa sih Silmy kayak gitu?”
“Nggak
tahu tuh. Aku juga kesel, Ley.”
Aku
tidak suka Silmy seperti itu. Hatiku sakit. Jika memang dia membenci kami
sekarang, bisakah dia tidak usah mempublikasikannya di jejaring sosial? Walau
bagaimanapun dulu kami pernah bersama – sama. Apakah begini caranya jika dia
sudah memisahkan diri? Aku tidak tahan lagi. Segera aku SMS dia.
“Silmy,
aku mohon sama kamu. Kalau kamu memang sudah membenci kami, tolong jangan
mempublikasikannya di jejaring sosial. Aku mohon sekali sama kamu. Aku harap
kamu mengerti. Makasih sebelumnya.”
Aku
tidak mengharapkan balasan darinya. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin dia
menyadari kesalahannya. Lagipula dia mungkin tak akan membalas SMS itu. Karena
aku baru saja ganti nomer handphone dan belum sempat memberitahunya. Jadi
mungkin dia berfikir sms itu dari orang yang tidak dia kenal. Atau mungkin dia
malah jadi penasaran? Entahlah, kita tunggu saja. Namun sampai jam 23.30, handphone-ku
tak kungjung berbunyi. Mungkin dugaan pertamaku benar. Dia menganggap yang meng-SMS-nya
adalah orang yang tidak penting, tidak dia kenal. Jadi dia tidak membalasnya.
Yasudahlah tak apa. Yang penting aku sudah mencobanya.
Malam
mulai menua, bahkan sebentar lagi berganti menjadi pagi. Namun aku tak kunjung
dapat memejamkan mata. Aku masih memikirkan Silmy. Aku merindukannya. Sudah
lama aku tidak mengobrol dengannya, bahkan menyapa pun sudah sangat jarang.
Kami seperti orang yang baru berkenalan. Aku tidak tahu alasan mengapa dia
seperti itu. Itulah yang membuatku tidak rela dan memikirkannya hingga
sekarang. Karena terlalu memikirkan itu, akhirnya aku terlelap juga. Semoga
esok lebih baik dari hari ini.
***
Aku
rasa aku baru tidur sebentar. Ya kira – kira sekitar 3 jam-an. Tapi sekarang
aku sudah dibangunkan untuk melaksanakan sholat subuh. Dan ketika aku melihat
handphone-ku, ada tanda SMS masuk di sana. Aku membukanya, ternyata dari Silmy.
“Ini
siapa? Maksudnya apa? Aku tidak mengerti.”
“Ini
dari seseorang yang mungkin telah kamu anggap sebagai mantan sahabat. Kamu
tidak mengerti? Coba kamu ingat – ingat apa yang telah kamu retweet di account Twitter-mu.
Aku hanya ingin mengingatkanmu. Tidak lebih.”
“Mantan
sahabat? Aku sama sekali tidak menganggap siapapun seperti itu. Mungkin kamu
yang telah menganggapku seperti itu. Kamu juga merasa tidak ada aku membuat
keadaan lebih baik kan? Maaf jika kamu tersinggung. Tapi coba ingat apa yang
telah kamu lakukan. Apa menurutmu itu lebih baik dari yang aku lakukan
kemarin?”
Aku
yakin sekali Silmy menyangka bahwa aku Mutia. Dia memang punya masalah dengan
Mutia sebelum dia menjauh dari kami seperti sekarang ini. Mungkin saja dia
seperti ini karena Mutia. “Tunggu, mengapa aku tidak menyadari kalau alasan
Silmy menjauh itu karena Mutia?” ucapku kepada diriku sendiri. Aku segera
membalas SMS-nya.
“Kamu
pikir aku Mutia? Kamu salah. Ya sudahlah ya. Maksudku baik. Hanya ingin
mengingatkanmu. Walau bagaimanapun dulu kita pernah dekat. Kalaupun keadaannya
seperti ini sekarang, apa kamu harus mempublikasikannya ke jejaring sosial?
Jadi aku minta tolong ya sama kamu. Jujur, aku sakit hati melihatnya.”
“Terus
ini siapa? Maaf deh kalau begitu. Kalau misalnya ini Lila, Lesya, Timeh,
ataupun Paras, jujur saja aku tidak ada rasa benci sama sekali terhadap
kalian.”
“Lila,
Lesya, Timeh, dan Paras juga tidak ada rasa benci kok sama kamu. Kami juga
minta maaf ya.”
“Iya.
Jadinya ini siapa? Jangan buat aku penasaran dong. Oh iya, ada alasan
tersendiri mengapa aku menjadi seperti ini sekarang.”
Aku
memilih untuk tidak membalasnya. Karena aku yakin walaupun aku tanyakan apa
alasannya. Dia pasti tidak akan memberitahu. Jadi daripada sia – sia lebih baik
tidak usah. Bukankah begitu?
***
That's all about part 1. Part 2-nya akan segera di post. What do you think so far? Thanks for reading. Comment please. Love u xox
bagus kak lanjutkan menulisnya hehe
ReplyDeleteberita rusia